Senin, 07 Maret 2011

Sejarah PuloSari

Gunung Pulosari telah lama dikenal. Dalam sejarah Banten dikatakan Sunan Gunung Jati dan Hasanuddin melakukan perjalanan dengan tujuan ke Gunung Pulosari yang menurut Sunan Gunung Jati merupakan wilayah Brahmana Kandali. Diatas gunung itu hidup delapan ratus aja-aja yang dipimpin Puncak Umum. Hasanuddin diberitakan konon tinggal bersama mereka selama sepuluh tahun lebih.

Keberadaan Gunung Pulosari yang dipercaya sebagai salah satu gunung keramat diperkirakan telah muncul jauh sebelum berdirinya Kerajaan Banten Girang yaitu kerajaan yang bercorak Hindu/ Budha sebelum berdirinya Kesultanan Banten Islam. Berita-berita dari beberapa pakar kepurbakalaan seperti Pleyte mengisahkan Sanghyangdengdek berdasarkan sumber cerita Ahmad Djayadiningrat pada tahun 1913 dan NJ Krom dalam Rapporten van der Oudheikundingen Diens in Nederlandsh tahun 1914 menyatakan pula bahwa diseputar Kabupaten Pandegelang ada peninggalan arkeologi burupa arca nenek moyang. Salah satu arca yang dimaksud adalah patung tipe polinesia di Tenjo (Sanghyangdengdek).

Gambaran Gunung Pulosari sebagai gunung keramat diperoleh pula dari keterangan Claude Guillot bahwa di desa Sanghyangdengdek, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang terdpat pemujaan lama yang menyandang nama dewa. Tempat pemujaan tersebut sudah lama di kenal berupa batu terdiri yang tingginya kir-kira satu meter dan puncaknya dipahat sederhana dan kasr berbentuk kepala, mata bulat, mulutnya hanya goresan, telinganya dibuat hanya tipis sederhana dan hidung tidak nyata, lengan-lengan dan kelamin lelaki kelihatan pula, tetapi hampir tidak menonjol.

Tidak hanya itu. Keberadaan Gunung Pulosari yang dikenal sebagai gunung keramat dapat dikatakan sebagai salah satu pusat peradaban masa lalu di daerah Banten. Pernyataan ini tentunya didukung bukti-bukti peninggalannya. Kira-kira empat kilometer dari Sanghyangdengdek diatas bukit Kaduguling tepatnya di perbatasan Desa Sukarsari dan Desa Bongkaslandeuh, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandaglang terdapat kompleks megalitik berlanjut yang disebut Batu Goong Citaman.

Hasil penggambaran Direktorat Purbakala tahun 1999, tampak situs Batu Goong adalah punden berundak yang merekayasa bentukan alam. Bukit Kaduguling sebagai bukti tertinggi di seputar situs, posisinya tepat berada pada garis lulus ke Sanghyangdengdek berorientasi ke puncak Gunung Pulosari di bentuk pelataran-pelataran bertrap-trap makin ke Timur makn tinggi menjadikan bentuk memusat ke belakang. Di tempat tertinggi itulah ditempatkan Batu Goong bersama menhir. Menhir ini berdiri ditengah-tengah sebagai pusat dikelilingi oleh batu-batu yang berbentuk gamelang seperti gong dan bau pelinggih. Formasi semacam ini lazim disebut formasi “temu gelang”. Di tempat lain dapat dibandingkan dengan peninggalan megalitik di Matesi, Jawa Tengah, dan disitus Pugungraharjo di Lampung Timur.

Situs Batu Goong dilengkapi kolam megalitik berukuran cukup besar, yang dikenal dengan situs Cataman. Cataman berada di sebelah barat Batu Goong jarknya kira-kira 450 m, dan posisinya berada lebih rendah. Berdasarkan hasil pendataan Suaka peninggalan sejarah dan purbakala serang, menunjukkan dahulu situs Batu Goong dan Citaman merupakan satu kesatuan, satu kompleks budaya dan satu priode. Di Citaman terdapat batu-batu berlibang, batu datar, batu dakon dan batu bergore. Disamping itu situs Batu Goong-Citaman ditemukan pecahan keramik, di antaranya keramik Sung putih berasal dari akhir abad ke-10 M yang paling tua, dan keramik dokon, dan batu bergores, kini merupakan obyek wisata budaya. 

Elevation: 1,346 metres (4,416 feet)
Type: Stratovolcano
Last eruption: Unknown      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar